Gibran Bantah Beri Rekomendasi ke PT Sritex: Kalau Mau Proyek, Ya yang Lebih Gede NIlainya Triliunan




Anak pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, membantah telah merekomendasikan PT Sri Rejeki Isman Textile Tbk atau PT Sritex mendapat proyek pengadaan goodie bag untuk bantuan sosial (bansos) sembako dari Kementerian Sosial.


"Enggak pernah seperti itu, itu berita yang tidak benar," kata Gibran dalam keterangan video yang diterima Tribunnews.com, Senin (21/12/2020).


Gibran mempersilakan para pihak yang tidak percaya akan hal tersebut untuk menelusurinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun PT Sritex.


"Ya nanti silakan aja dikroscek ke KPK, kroscek ke Sritex, kayaknya pihak Sritex juga sudah mengeluarkan statment," katanya.



"Kalau mau korupsi ya kenapa korupsinya baru sekarang, enggak dulu-dulu, saya enggak pernah seperti itu," imbuh Gibran.


Andaikata membutuhkan proyek, Gibran menyebut lebih baik menggarap proyek yang nilainya jauh lebih besar.


"Kalau pingin proyek, ya proyek yang lebih gede, PLN, Pertamina, jalan tol, itu nilainya triliunan," sebut Gibran.



Gibran juga mempersilakan masyarakat untuk mengecek harta kekayaannya pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).


"Bisa dicek sendiri, bisa dicek semua, LHKPN, dana kampanye, semuanya bisa dicek online," tuturnya.



Kendati membantah semua tudingan, Gibran tak menepis dirinya mengenal eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, yang sudah terjerat KPK dalam kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19 ini.



"Kenal sih kenal, tapi belum pernah ketemu sekalipun," ucapnya.


Gibran pun mengakui belum berkomunikasi dengan Jokowi perihal berita yang menyudutkan namanya. Katanya, ia bisa mengurusnya sendiri.


"Ya nanti malam aja. Urusan-urusan kayak gini saya selesaikan sendiri," kata Gibran.



Ihwal adanya informasi yang berkaitan dengan kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pastikan akan menggali dan mengonfirmasi hal tersebut kepada para saksi, termasuk pihak PT Sritex maupun Gibran.


"Kami memastikan bahwa setiap informasi itu akan digali dan dikonfirmasi kepada para saksi-saksi yang dipanggil dan diperiksa oleh tim penyidik KPK," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri saat dihubungi, Senin (21/12/2020).


Namun demikian, ujar Ali, jikalau keduanya telah masuk ke jadwal pemeriksaan, KPK tidak bisa membeberkan materi penyidikan.


"Karna semua akan terbuka pada waktunya nanti pada proses persidangan yang terbuka untuk umum dan semua masyarakat bisa mengikuti bagaimana rangkaian peristiwa dan proses di dalam persidangan," ujarnya.



Di sisi lain, Ali bilang bahwa saat ini proses penyidikan dan penyelesaian berkas perkara terkait dengan dugaan korupsi di Kementerian Sosial masih terus berlangsung.


"Penyidik KPK masih akan melengkapi bukti, data, dan informasi dengan memanggil dan memeriksa sejumlah saksi," kata dia.



Diberitakan, salah satu media nasional menyebut PT Sritex diduga menerima rekomendasi khusus dari Gibran.


Akan tetapi, perusahaan dengan kode emiten SRIL ini menyatakan partisipasi dalam program tersebut dimulai dari pertemuan antara pihak Kemensos dan perseroan.


"Sritex mendapatkan pesanan goodie bag bansos setelah di-approach oleh pihak Kemensos. Pada saat itu kami disampaikan bahwa kebutuhannya mendesak alias urgent," kata Head of Corporate Communication PT Sri Rejeki Isman Tbk, Joy Citradewi, Minggu (20/12/2020).



Kendati demikian, PT Sritex mengaku mendapatkan order goodie bag bansos dari Kementerian Sosial sekitar sebulan setelah pandemi Covid-19.


Diketahui, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos serta dua pihak swasta bernama Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Van Sidabukke sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.


Juliari dan dua anak buahnya diduga menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.


Kasus ini bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.


Juliari selaku Menteri Sosial menujuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.



Diduga disepakati adanya "fee" dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko Santoso.


Fee untuk setiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi Wahyono sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos.



Selanjutnya Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian Iskandar Maddanatja, Harry Van Sidabukke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.


Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.


Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari P Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.


Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N, selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.



Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang "fee" dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari P Batubara.


Atas dugaan tersebut, Juliari P Batubara disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.


Sementara Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.



Adapun Ardian IM dan Harry Sidabukke yang diduga pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



Sumber:tribunnews.com


Iklan Atas Artikel/awalan

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel